Kembang Forsythia. Opanya yang di Jakarta, Andreas Harsono,
meminta saya menulis bagaimana kami mendampingi Kembang tumbuh selama satu
tahun ini. Plus bagaimana saya menjalani kehamilan. Mungkin sudah tiga kali,
Mas Andreas-begitu saya dan suami menyapanya, mengusulkan. Dengan khasnya
Kakek, begitu Mbak Ari, isterinya memanggilnya, permintaan pertama akan
terdengar seperti pertanyaan. "Apakah kamu menulis tentang Kembang?".
Tagihan kedua," Kamu tulis panjang donk soal bagaimana kamu membesarkan
Kembang". Ketiga, semoga ini yang terakhir karena saya berniat memenuhi
permintaannya, "Publish donk tulisan kamu soal Kembang," katanya
dengan nada komando.
Kehamilan
Pertama kali kami mengetahui pasti kehamilan saya, pada saat
usia kandungan sudah 13 minggu. Waktu itu sekitar pertengahan Maret 2014.
Dengan perkiraan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) 1 Januari 2014. Saya
mengingat persis tanggal ini. Kronologi hari-hari pertama pernikahan, rupanya
sangat lekat diingatan saya. Maklum saja, ini memang sejarah hidup, bukan? Saya
dan Abahnya Kembang, Imam Shofwan, menikah 27 Desember 2013 di Solok, Sumatera
Barat. Tepat malam tahun baru, 31 Desember 2013, saya bersama suami dan mertua
kembali ke Jakarta. Mertua menginap semalam di kos-kosan kami yang sangat
sederhana. Paginya saya dapat haid. Saya kabarkan ini ke
ibu mertua. Ibu mertua
terlihat sedikit kecewa tapi tetap menghibur.
Akhir bulan, Bapak meminta kami datang ke kampung untuk
hajatan. Hajatan tanggal 30 Januari 2014. Dua hari sebelumnya kami berangkat
dengan kereta api menuju Semarang. Di kereta, saya ingat menemukan bercak darah
atau flek. Saya pikir haid selanjutnya datang lebih cepat. Mungkin karena
kelelahan, batin saya. Belakangan saya baru tahu, kalau flek adalah salah satu
tanda awal kehamilan.
"Hamil itu bukan penyakit. Ia proses normal untuk tubuh
perempuan," begitu selalu Abahnya Kembang mengingatkan saya. Menjalani 36
minggu kehamilan dengan pola pikir ini, ampuh membuat saya tidak mengalami
keluhan yang berarti saat kehamilan. Kalaupun ada keluhan, termasuk keluhan
yang wajar untuk ibu hamil, seperti cepat lelah, sakit punggung, sumuk-an,
kram. Tiga bulan pertama sejak kami tahu saya hamil, Abah Kembang rutin sekali
sebulan mengantar untuk konsultasi kondisi kehamilan saya di sebuah Puskesmas
di kawasan Tebet. Memasuki bulan keenam, konsultasi menjadi dua kali sebulan
hingga dua bulan terakhir menjadi rutin satu kali seminggu.
Setiap kali konsultasi dengan bidan, kami cukup membayar
Rp.2.000 untuk pendaftaran karena saya belum punya Kartu Tanda Penduduk (KTP)
DKI Jakarta. Jika kami rasa butuh USG dengan dokter, kami membayar Rp.65.000
sekaligus konsultasi dengan dokter kandungan. Saat USG kedua kali, usia
kandungan lima bulan, dokter memberitahu perkiraan kami akan mendapatkan anak
perempuan. Saya girang. Suami juga. Kami memang tidak menentukan lebih
menginginkan anak laki-laki atau perempuan untuk anak pertama kami. Pun anak
kedua nanti. Bagi kami mengharapkan jenis kelamin tertentu, kemungkinan akan membuat
sang anak kecil hati nantinya, jika ia pernah tau hal ini.
Selama kehamilan saya juga melakukan dua kali test darah.
Pertama test darah lengkap untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kemungkinan
adanya penyakit berbahaya seperti HIV Aids. Saya dan suami tersenyum saat
mengetahui hasil tes baik. Kami bebas dari penyakit, kondisi ibu dan janin,
normal. Sebelumnya di poster yang ada di jendela ruang pemeriksaan, saya baru
tahu jika bayi dilahirkan dari ibu dengan HIV, Aids bisa dicegah diturunkan kepada
bayi dengan perlakuan tertentu selama masa kehamilan. Kedua, tes darah cukup
untuk mengatahui kadar hemoglobin ibu, untuk persiapan persalinan. Kali ini
juga hasil tes saya baik.
Ada yang bertanya bagaimana saya menjalani kehamilan dengan
pekerjaan saat itu masih menjadi reporter lapangan sebuah media online di
Jakarta?
Trisemester pertama kehamilan, saya mengalami morning sick. Muntah dan mual di pagi
hari. Biasanya muncul saat saya menggosok gigi saat mandi. Tidak tentu juga.
Pernah juga saat saya di dalam angkutan kota. Saya terpaksa turun sebelum
sampai di tujuan dan muntah di tepi jalan. Sekali waktu saat saya tengah
mengendarai sepeda motor. Lebih gampang mencari tempat berhenti lalu muntah.
Tapi setelah muntah, terasa lebih lega dan segar. Saya ingat, "kehamilan
bukan penyakit", lalu saya kembali beraktivitas.
Trisemester kedua, morning
sick mulai hilang. Nafsu makan mulai kembali normal. Bahkan bertambah kuat.
Beberapa kali saya muntah dalam semester ini, justru karena saya makan atau
minum terlalu banyak. Sekali konsultasi saya diingatkan oleh bidan untuk
menjaga makan karena berat badan yang naik drastis. Idealnya berat badan naik
satu kilogram selama sebulan. Saat itu, belum dua minggu dari terakhir kontrol,
berat saya sudah naik 1,5 kg. Perintah bidan, saya harus turunkan berat badan
0,5 kilogram untuk dua minggu ke depan, sebelum konsultasi selanjutnya. Saya
mulai mengurangi makan terlalu banyak karbohidrat dan menggantinya dengan hanya
makan protein, buah dan sayur. Ini penting untuk menghindari saya merasa sesak
di trisemester ketiga nanti.
Hingga sembilan bulan kandungan, saya masih membawa Kembang
berkeliling Jakarta dengan sepeda motor untuk liputan. Di hari kerja, lebih
sering saya diberi keringanan liputan di gedung MPR DPR kawasan Senayan. Lokasi
ini juga tidak jauh dari kosan kami. Namun jika tugas akhir pekan saya harus
siap liputan di mana saja. Lagi saya ingat, kehamilan bukan penyakit.
Seyogyanya ia tidak menghalangi perempuan melakukan aktivitas biasa seperti
saat sebelum kehamilan. Beberapa informasi
mengatakan, ibu hamil dibolehkan melakukan kegiatan apapun seperti
sebelum ia hamil. Misalnya jika si ibu biasa olahraga angkat besi sebelum
hamil, maka saat hamilpun ia dibolehkan melakukan kegiatan yang sama. Bukan
disarankan untuk mengurangi aktivitas hariannya.
Selama kehamilan, sebagai tambahan asupan, saya hanya
mengkonsumsi vitamin penambah darah dan penguat tulang yang didapat di apotek
puskesmas secara cuma-cuma. Saya sempat membeli susu ibu hamil, namun berhenti
konsumsi, karena justru membuat morning sick bertambah parah.
Kelahiran
Kembang Forsythia lahir pada 23 September 2014 pukul 07.15
pagi. Sehari sebelumnya saya mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD). Hari itu tepat
saat Abahnya Kembang ujian tesis. Sore setelahnya kami langsung ke klinik di Puskesmas
tempat saya biasa konsultasi kandungan. Puskesmas ini punya klinik bersalin 24
jam. Saat tiba di klinik, sekitar pukul 18.30 posisi bukaan satu. Tapi bidan
tak bisa meraba rambut bayi jika memang ketuban telah merembes. Saya juga tak
tahu pasti berapa banyak ketuban yang merembes. Tiba-tiba celana dalam basah
namun cairan tidak berwarna dan tidak berbau. Bidan minta kami menunggu hingga
pukul 21.00 WIB. Jika tak ada kemajuan kami akan diminta pulang. Kami lalu
mencari makan malam. Nasi goreng habis, saya kembali dicek bukaan. Belum ada
kemajuan. Namun bidan urung meminta saya pulang. Khawatir ketuban habis duluan.
Saya disarankan untuk induksi. Induksi dengan memasukkan cairan perangsang
melalui infus. Dokter perkirakan akan memakan waktu 8-9 jam induksi. Garansi
saya bisa melahirkan normal dengan bantuan induksi ini, kamipun setuju. Abah
tandatangan berkas persetujuan.
Cairan mulai dimasukkan, infus dipasang. Jika ada yang
bertanya rasanya induksi saya tak bisa menggambarkan persisnya. Saya selalu
menjawab setingkat lebih sakit dari pada nyeri haid. Pinggang dan punggung
serasa mau copot. Perut mulas tak nyaman. Nyeri datang setiap lima menit lalu
hilang. Tiba-tiba datang lagi. Begitu terus hingga pagi. Awal-awal saya bolak balik
meminta ditemani suami. Peraturan klinik, suami tak boleh temani kecuali saat
melahirkan. Jelang subuh saya hampir menyerah. Saya minta suami masuk. Saya
minta maaf. Saya ikhlaskan jika tubuh tidak kuat. Saya minta suami sampaikan
maaf pada mama dan mertua. Abah tampak tegang. Ia hanya memeluk saya yang mulai
menangis dan berkata semua akan baik-baik saja.
Jelang subuh ada kemajuan. Darah mulai merembes. Mulai ada
rasa ingin buang air besar. Perawat melarang saya berteriak. Simpan tenaga
untuk mengejan. Tapi saya tak tahan. Sebelumnya Abah masuk pamit akan sholat
subuh dan mandi di rumah tante dekat klinik. Saya mengijinkan. Mengingat Abah
sudah menunggui semalaman. Bolak balik klinik-mushala. Bidan pun perkirakan
akan lahir sekitar pukul 08.00.
Abah kecolongan. Sekitar 06.30 bidan shift pagi masuk. Tanpa
cek bukaan lagi, ia perintahkan siapkan peralatan. Saya telpon, Abah Kembang
terjebak macet menuju klinik. Tiga kali mengedan keluar kepala, lengan lalu
seluruh tubuh. Suara tangis pecah. Saya lupa sakitnya melahirkan. Karena
induksi jauh lebih sakit. Kembang masih menangis kencang sekali saat Inisiasi
Menyusu Dini (IMD). Saya menangis. Bahagia sekali. Lebih bahagia daripada jatuh
cinta.
Menurut bidan dan perawat klinik, tangis Kembang jauh lebih
keras dibanding bayi lain. Ia berteriak saat menangis. Di dalam ruang rawat ada
lima bayi lain yang lahir dengan waktu hampir bersamaan dengan Kembang. Tak ada
yang tangisnya seperti Kembang.
Setelah saya dan Kembang dibersihkan kami pindah ke ruang
rawat. Di sini ia bertemu abahnya untuk pertama kali. Tiga jam setelah
melahirkan saya sudah bisa duduk dan mandi sendiri. Abah menggendong Kembang.
Kembang kurang beruntung karena lahir dari ibu dengan
payudara puting rata (flat nipple). Hingga dua hari Air Susu IBU (ASI) belum
keluar. Meski bayi masih akan bertahan hingga 72 jam setelah lahir tanpa ASI,
saya khawatir ia akan rewel. Benar saja. Kembang tak bisa diam jika tidak tidur
karena kelelahan menangis.
Saat kontrol pertama,
berat badannya turun 2 ons dari 2,9 kilogram. Nyaris kuning. Saya masih
berusaha memompa ASI setetes demi setetes. Perawat klinik mengajarkan pijat
payudara untuk relaktasi. Setetes ASI disuapkan pada Kembang dengan sendok.
Sedih sekali rasanya jika melihat ibu lain langsung bisa menyusui bayinya.
Hingga pulangpun ASI masih belum lancar. Kembang belum bisa
menyusu. Setiap dua jam saya pompa ASI hanya untuk membasahi pantat cangkir.
Kembang menenggak dalam hitungan detik. Beruntung Abah Kembang sabar
menggendong, mengajak Kembang bermain keluar sementara saya memompa ASI.
Seminggu pertama saya peras ASI manual dengan tangan. Kebas dan pegal. Kadang
saya menangis. Tapi melihat Abah yang tenang dan sabar saya yakin ini tak akan
lama. Hampir satu bulan Kembang minum ASI perahan. Berbagai cara mengeluarkan
puting saya coba. Saya coba pakai pompa manual. Suntikan yang dimodifikasi
ujung dan dibuang jarumnya. Seorang bidan teman saya tidak menganjurkan
menggunakan puting sambungan. Resiko bayi bingung puting akan berpeluang
menurunkan produksi ASI. Kami sempat konsultasi dengan dokter di klinik. Ia
mempertemukan saya dengan seorang bidan senior yang mengajarkan saya menyusui
dengan benar. Menyusui bukan dengan puting. Namun dengan areola, bagian hitam
ditengah payudara. Posisi menyusui benar jika telinga bayi segaris dengan bahu
dan tangannya, apapun posisi menyusuinya, duduk, berdiri atau tiduran. Benar
saja. Saya terus melatih Kembang menyusu meski tanpa puting. Dua bulan ia
belajar akhirnya Kembang bisa menyusu. Meski dengan satu payudara. Saya bahagia
bukan kepalang.
ASI Eksklusif
Saya butuh waktu lebih lama untuk belajar merawat bayi. Saya
tak punya pengalaman sama sekali. Abah lebih beruntung. Ia punya pengalaman
melihat keponakannya tumbuh. Hampir tiga bulan pertama pengasuhan Kembang lebih
banyak dilakukan Abah. Mandi, memotong kuku, tidur. Bahkan jika Kembang
menangis tengah malam karena basah, sering Abah yang bangun dan mengganti
popoknya. Saya bangun untuk menyusui. Kembang usia tiga bulan saya baru berani
memandikannya. Berani memotong kukunya. Saya mulai tenang. Meski Kembang masih
suka nangis hingga mengamuk karena kolik. Hampir lima bulan Kembang sering
menangis kencang sekali. Kadang saya bingung dan menangis. Abah meminta saya
sholat jika sudah begitu. Saya kembali tenang. Kembang pun tenang dipelukan
Abahnya. Saya merasa Kembang lebih dekat dengan Abahnya ketimbang saya.
Kembang mungkin tak seratus persen ASI Eksklusif karena
pernah suatu ketika ia diberi minum air putih oleh saudara di kampung, saat
mudik. Kami langsung wanti-wanti bahaya air putih bagi bayi dibawah enam bulan.
Mulai diare hingga gangguan pencernaan. Banyak yang menyarankan kami untuk
memberi susu tambahan atau makanan setiap kali Kembang menangis. Dengan telaten
saya beri pengertian bahwa menangis bukan berarti lapar. Susu tambahan dan
Makanan Pendamping ASI (MPASI) dini beresiko besar bagi bayi. Secara sederhana,
usus bayi yang belum tumbuh sempurna belum siap menerima apapun selain ASI.
Jika dipaksakan akan membuat usus bayi bekerja lebih keras dan kemungkinan gangguan
pencernaan lebih besar saat ia tumbuh nanti. Mungkin akan membuat bayi lebih
tenang atau anteng karena pencernaannya sedang bekerja keras mencerna.
Saya lebih mengusahakan merilekskan pikiran agar produksi
ASI lancar. ASI yang melimpah tidak keluar dari ibu yang stres. Ketika ibu
bahagia menyusui, otak mengeluarkan hormon oksitosin dan memerintahkan otak
untuk memproses lebih banyak ASI sesuai kebutuhan bayi. ASI akan diproduksi
sebanyak ASI yang dikeluarkan melalui hisapan bayi. Tepat dugaan saya. Saat
saya rileks dan merasa bahagia, ASI melimpah. Selamat tinggal tangan kebas dan
pegal.
MP ASI
Kembang tak suka makanan yang tidak segar. Ia akan melahap
apa saja selama disajikan saat hangat atau dalam keadaan fresh. Dua minggu
pertama di usianya yang melewati enam bulan, Kembang mengikuti pola pemberian
Makanan Pendamping ASI food combining. Memulai dengan buah dan sayur. Pisang,
alpukat, wortel, brokoli. Hanya untuk pengenalan. Selanjutnya Kembang mengikuti
anjuran World Health Organization (WHO) dengan mengenalkan semua jenis makanan,
termasuk protein. Dibuka dengan menu-menu tunggal. Menurut WHO tak ada alasan
untuk menunda memberi protein pada bayi, kecuali jika bayi berpotensi alergi.
Kami tak punya riwayat alergi apapun. Jadi sejak tujuh bulan Kembang sudah
mencoba semua jenis makanan.Yang perlu diperhatikan hanya tekstur dan jumlah
pemberian MP ASI yang meningkat secara perlahan. Dari lunak hingga padat. Satu
sendok makan bertambah menjadi hingga tiga sdm sekali waktu makan.
Kembang ikut mengkampanyekan GTM alias Gerakan Tutup Mulut
saat ia tumbuh gigi di usia tujuh bulan. Sama sekali tak menyentuh makanan yang
saya bikin sendiri. Di sini saya mencoba pola Baby Lead Weaning (BLW). BLW
memberi keleluasaan pada bayi untuk menyuap sendiri makanannya. Semua bahan
cukup dikukus hingga lunak lalu di berikan dalam ukuran jari orang dewasa.
Untuk karbohidrat sementara diganti kentang atau ubi. Menurut pola yang
memanfaatkan masa oral bayi ini, bayi akan secara natural memasukkan makanan ke
dalam mulut dan berhenti ketika merasa kenyang. Hampir seminggu Kembang BLWan.
Paling nyaman makan apel dingin karena dapat mengurangi nyeri gigi. Setelah
nafsu makannya kembali dan gigi sudah mulai muncul saya kembali suapi.
Bagaimanapun saya khawatir BLW tidak mencukupi nutrisi yang tubuhnya perlukan.
Hingga 9 bulan, Kembang masih setia konsumsi nasi tim buatan
saya. Tidak pakai gula dan garam karena akan memperberat kerja ginjalnya yang
masih belum tumbuh sempurna. Ia mengenal rasa asli bahan makanan. Saya juga
menghindari tepung-tepungan. Menu makanannya menyesuaikan bahan yang dijual
tukang sayur yang lewat setiap pagi di depan rumah kami. Tak perlu repot sengaja
belanja untuknya.
Memasuki sepuluh bulan saya mulai kenalkan nasi biasa, hanya
dimasak dengan lebih banyak air. Lauknya masih tanpa gula dan garam hingga ia
pas satu tahun. Kami orangtuanya yang menyesuaikan diri dengan Kembang. Ia
masih lahap makan hingga kini, kecuali jika sakit.
Sakit
Hampir satu tahun, saya bisa ingat berapa kali Kembang tidak
dalam kondisi normal. Tiga kali demam, satu kali diare dan beberapa kali pilek,
batuk dan ingusan. Demam pertama kali saat ia belum genap satu bulan. Kami baru
pindah dari kosan ke kontrakan. Rumah lebih lega. Namun yang perlu dikerjakan
juga lebih banyak. Saya kecapekan, kurang tidur hingga demam. Kembang
ketularan. Saya susui terus tanpa obat dan ke dokter. Abahnya membantu dengan
skin to skin treatment. Abah tidur sambil memeluk Kembang. Keduanya tidak
menggunakan baju. Secara alami panas tubuh Kembang berpindah ke tubuh Abah.
Jemur di matahari pagi selama 15 menit sebelum pukul 08.00 juga sangat
membantu. Ini perlakuan kami terhadap Kembang setiap kali ia demam. Demam kedua
hanya sehari, sesaat setelah imunisasi DPT. Ketiga saat ia tumbuh gigi.
Perlakuannya sama. Tanpa dokter dan obat. Hanya ASI. Karena demam juga bukan
penyakit. Ia proses alami tubuh melawan virus dalam tubuh bayi. Setiap bayi
demam, yang harus diwaspadai penyebabnya. Selagi penyebabnya wajar, seperti
imunisasi atau tumbuh gigi, cukup bantu bayi agar lebih nyaman saat demam. Kami
pikir memaparnya dengan obat atau antibiotik dari dini sebaiknya dihindari.
Saat delapan bulan, Kembang diare. Mencret dan muntah. Saya
langsung mewaspadai dehidrasinya. Memberi ASI lebih sering, ditambah asupan
pendamping dengan makanan berkuah. Kuah sayur dan kuah sup. Tiga hari BAB
sering dan muntah bahkan hingga tengah malam. Perlahan mulai berkurang. Hari keempat
berhenti, namun Kembang masih lemas. Gampang tertidur. Diare juga proses alami
tubuh mengeluarkan bakteri tidak baik dalam usus bayi. Kembang memang sedang
dalam masa oral. Ia mengeksplor semua yang ia temukan dengan memasukkannya ke
dalam mulut. Tak heran mungkin ada bakteri yang ikut masuk. Sebaiknya tidak
dilakukan usaha penghentian karena hanya akan membuat bakteri terperangkap
lebih lama dalam tubuh. Waspadai tingkatan dehidrasi. Dehidrasi ringan bisa
diantisipasi dengan cairan rumah tangga seperti kuah sup dan sayur. Dehidrasi
sedang membutuhkan oralit plus lacto b untuk mengganti cairan yang keluar.
Sementara dehidrasi berat, pada bayi ubun-ubun mulai cekung, harus diberi
cairan melalui infus. Tanpa dokter dan obat, Kembang pulih di hari kelima.
Toleransi untuk bayi diare hingga 14 hari. Jika tak disertai darah, belum perlu
diberi obat.
Setiap kali pilek dan batuk, saya buat terapi uap mandiri
dengan menaruh air panas di dalam baskom, lalu ditetesi minyak kayu putih.
Uapnya cukup membantu melegakan hidung tersumbat. Sementara pemicu batuk juga
harus dihindari seperti debu atau udara dingin.
ASI dan imunisasi yang kami berikan sebagai modal untuk
Kembang, kemungkinan besar sangat membantu ia menghadapi kondisi-kondisi tidak
normal seperti ini.
Sejauh ini Kembang punya ketahanan tubuh yang baik. Sekali
dua kali kami terpaksa membawanya keluar malam dengan sepeda motor. Sekali
dalam kondisi hujan. Ia baik-baik saja. Kami bersyukur ia tak gampang sakit.
Kontroversi-Kontroversi
Seperti orangtua lainnya, kami juga menghadapi kontroversi
seputar perlakuan pada anak saat masa tumbuh kembangnya. Yang paling panas soal
tindik dan sunat. Yang agak adem soal pemakaian gurita, bedong, bedak bayi,
dot, empeng dan nama ayah.
Kami memilih tidak menindik Kembang. Selain tidak tega, kami
pikir menindik tidak mempengaruhi tumbuh kembangnya selain untuk menandai bahwa
ia bayi perempuan. Kami pikir ia sudah cukup cantik dan biarlah ia memutuskan
sendiri nanti untuk hal yang menyakiti dirinya. Selain itu secara pribadi saya
juga punya trauma sendiri dengan tindik telinga. Saat sekolah saya selalu
kehilangan sebelah anting. Karena daun telinga cepat buntu, saya alami dua atau
tiga kali tindik ulang. Yang terakhir berakhir dengan nanah dan korengan. Sejak
itu mama saya menyerah. Hingga kini saya
tak pernah pakai anting.
Sunat bayi perempuanpun sudah tidak direkomendasikan tenaga
medis. Kalaupun masih ada satu dua yang mau melakukan, hanya sebagai syarat,
begitu katanya. Kami juga tak lihat pengaruh bagi pertumbuhan anak.
Selain itu, alasan yang sudah umum, bahwa pemakaian gurita
beresiko mengganggu respirasi bayi, bedak bayi beresiko bayi terkena kanker
ovarium dan radang paru-paru. Menghindari empeng dan dot untuk membantu giginya
tumbuh dengan baik. Sementara bedong, selain Kembang memang tak betah dibedong,
pendapat bahwa bedong untuk meluruskan kaki bayi ternyata hanya mitos. Bedong
dikenakan lebih dengan tujuan membuat bayi lebih hangat. Namun kami pikir bayi
juga harus segera beradaptasi dengan lingkungan luar. Kita tak bisa terus
memanjakannya dengan mengkondisikan dirinya selalu hangat seperti dalam
kandungan. Karena itu kami juga segera melepas kaus kaki dan kaus tangannya.
Oya, Kembang juga menghadapi mitos-mitos seputar bayi lahir.
Ada tetangga yang sarankan saya untuk bawa gunting kuku kecil kemana-mana. Atau
menyematkan peniti dan bawang putih dibajunya. Ada juga yang memberi kami
sebungkus garam untuk ditabur di halaman rumah menghindari gangguan makhluk
halus. Kami mendengarkan dengan senyum semua mitos ini. Tak satupun yang kami
ikuti, lebih karena alasan keamanan dari benda tajam seperti gunting dan
peniti. Sementara garamnya? Kami gunakan untuk memasak!
Kembang Forsythia juga tidak membawa nama ayah di belakang
namanya. Kami juga tidak menambah nama berbahasa Arab seperti yang disarankan
mbahnya. Bagi Abahnya sederhana saja. Agar ia tak terbebani kelak jika dewasa.
Forsythia adalah nama bunga penanda musim semi. Nama yang didapat Abah dalam
buku Email dari Amerika yang ditulis
kenalan kami ibu Janet Steele. Kalaupun ada harapan yang kami sematkan dari
namanya, kami hanya ingin ia ceria seperti kuning cerahnya Forsythia.
Kedatangannya selalu ditunggu karena membawa kebahagiaan. Itu saja cukup.
Ulang Tahun Pertama
Kembang lahir dari kehamilan yang tidak direncanakan.
Awalnya kami bermaksud menunda memiliki anak hingga satu atau dua tahun
perkawinan. Namun kami tidak berusaha untuk itu. Bulan September tanggal 23
tahun 2015 ini Kembang akan ulangtahun untuk pertama kali dan kami sama sekali
tidak pernah menyesali kehamilan diluar rencana ini. Ia melengkapi kebahagiaan
kami rupanya. Jika jaman dulu orang
percaya banyak anak banyak rezeki, kami mungkin akan merevisi dengan setiap
anak membawa rezekinya masing-masing. Kembang lahir dengan membawa rejekinya
sendiri.
Sebelum ia lahir kami tinggal di kosan dengan satu ruangan
lepas. Sulit mencari kontrakan yang sesuai dengan keinginan kami di Jakarta.
Kalaupun ada harganya tidak sesuai dengan kemampuan kami. Namun seminggu
setelah Kembang lahir kami dapat kontrakan yang baik dan posisi strategis.
Setahun setelahnya kami ditawari rumah sederhana dengan harga bersahabat dengan
tabungan. Mas Andreas, yang meminta saya menulis ini, dan Mbak Ari istrinya
juga membolehkan kami membeli mobilnya yang lama dengan cicilan ringan tanpa
bunga. Ia membeli mobil baru. Apalagi semua itu kalau bukan rezekinya Kembang
yang disampaikan Tuhan melalui orangtuanya?
Kami berterima kasih pada Kembang. Ia tumbuh menjadi bayi
yang sangat ceria kini. Mudah dekat dengan orang lain. Tidak takut. Tidak rewel
kecuali kondisi tertentu seperti lapar, ngantuk atau gerah. Sebelas bulan
lebih, ia sudah mulai melangkah. Ia senang digendong belakang oleh Abah dan
saya. Ia suka iklan 3 #ubahdenganbicara dan iklan IKEA "Make a wish right
now". Ia membantu saya menjadi lebih sabar dan telaten. Ia membantu Abah
menjadi lebih banyak mengalah. Ia ingin terlibat dalam setiap yang kami
lakukan. Kalapun ada yang ia tak suka, ia ngeyel jika dilarang merangkak keluar
rumah. Ia tak suka dilarang main kabel. Ia suka main mpotan dengan Abah.
Mengganggu Abah main game di tablet. Memegang hidung saya saat menyusu. Dan
mengoceh sepanjang waktu dan sedang suka memanjat apa saja.
Kelak kami akan membiarkan ia memilih akan menjadi pribadi
yang seperti apa. Tugas kami sebisa mungkin menjadi teladan yang benar dan
menghormati dia dengan melibatkan diri dan pendapatnya dalam rumah tangga kami.
Kami tidak ingin pernah memarahinya.
Tumbuhlah menjadi anak yang bahagia, Nak. Abah dan Emak akan selalu
cinta padamu. Selamat Ulang Tahun.