Rabu, 21 Oktober 2015

Tulisan Soal Gojek

Beberapa minggu lalu saya menulis tentang fenomena Gojek dan kecelakaan lalu lintas. Tulisannya bisa dilihat disini. Ini adalah tulisan pertama saya yang dimuat setelah hampir setahun lebih tidak menulis. Praktis sejak saya keluar dari pekerjaan dua minggu sebelum melahirkan Kembang Fo, saya tidak punya waktu menulis. Setelah Kembang lulus ASI Eksklusif, mungkin saya masih punya waktu membaca, namun tidak untuk menulis. Saya terlalu fokus mendampingi pertumbuhannya.

Ide tulisan ini berawal dari diskusi lepas dan tak disengaja antara saya dengan beberapa kenalan dan tetangga. Intinya saat itu ada kenalan yang tidak percaya Gojek dan mereka yang benar-benar mengandalkan Gojek sejak bisnis ini muncul. Salah satu kenalan meminta saya menulis tentang ini dan dia bantu edit.

Saya selalu terbuka dengan kritikan setiap kali tulisan dimuat. Ada yang bilang tulisan ini terlalu sederhana. Benar menurut saya. Tentu saja ini terlalu sederhana karena bahasannya sama sekali tidak baru dan hal umum yang dirasakan hampir semua orang. Saya curiga ketika semua sudah dialami semua orang akan terasa biasa dan sederhana. Padahal faktanya, untuk ini, kendaraan bermotor tetap menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia. Melewati rokok dan narkoba.

Bagaimanapun saya senang tulisan ini dipublikasi. Di Indoprogress pula. Menurut beberpa teman penulis Indoprogress termasuk media terbatas. Pembacanya sedikit namun biasanya elit-elit. Oya, awalnya tulisan ini kami kirim ke Majalah Tempo, namun seminggu tak ada balasan, bukan penolakan, akhirnya kami cabut naskahnya dan pindahkan ke Indoprogress.

Ini rupanya menjadi titik balik saya kembali produktif menulis. Setelah tulisan ini dimuat saya kembali percaya diri dan mulai menulis lepas untuk sebuah website parenting. Soal ini akan saya ceritakan nanti. Tabik. 

Selasa, 22 September 2015

Kado untuk Ulangtahun Pertama Kembang Forsythia


Kembang Forsythia. Opanya yang di Jakarta, Andreas Harsono, meminta saya menulis bagaimana kami mendampingi Kembang tumbuh selama satu tahun ini. Plus bagaimana saya menjalani kehamilan. Mungkin sudah tiga kali, Mas Andreas-begitu saya dan suami menyapanya, mengusulkan. Dengan khasnya Kakek, begitu Mbak Ari, isterinya memanggilnya, permintaan pertama akan terdengar seperti pertanyaan. "Apakah kamu menulis tentang Kembang?". Tagihan kedua," Kamu tulis panjang donk soal bagaimana kamu membesarkan Kembang". Ketiga, semoga ini yang terakhir karena saya berniat memenuhi permintaannya, "Publish donk tulisan kamu soal Kembang," katanya dengan nada komando.

Kehamilan
Pertama kali kami mengetahui pasti kehamilan saya, pada saat usia kandungan sudah 13 minggu. Waktu itu sekitar pertengahan Maret 2014. Dengan perkiraan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) 1 Januari 2014. Saya mengingat persis tanggal ini. Kronologi hari-hari pertama pernikahan, rupanya sangat lekat diingatan saya. Maklum saja, ini memang sejarah hidup, bukan? Saya dan Abahnya Kembang, Imam Shofwan, menikah 27 Desember 2013 di Solok, Sumatera Barat. Tepat malam tahun baru, 31 Desember 2013, saya bersama suami dan mertua kembali ke Jakarta. Mertua menginap semalam di kos-kosan kami yang sangat sederhana. Paginya saya dapat haid. Saya kabarkan ini ke


ibu mertua. Ibu mertua terlihat sedikit kecewa tapi tetap menghibur.
Akhir bulan, Bapak meminta kami datang ke kampung untuk hajatan. Hajatan tanggal 30 Januari 2014. Dua hari sebelumnya kami berangkat dengan kereta api menuju Semarang. Di kereta, saya ingat menemukan bercak darah atau flek. Saya pikir haid selanjutnya datang lebih cepat. Mungkin karena kelelahan, batin saya. Belakangan saya baru tahu, kalau flek adalah salah satu tanda awal kehamilan.
"Hamil itu bukan penyakit. Ia proses normal untuk tubuh perempuan," begitu selalu Abahnya Kembang mengingatkan saya. Menjalani 36 minggu kehamilan dengan pola pikir ini, ampuh membuat saya tidak mengalami keluhan yang berarti saat kehamilan. Kalaupun ada keluhan, termasuk keluhan yang wajar untuk ibu hamil, seperti cepat lelah, sakit punggung, sumuk-an, kram. Tiga bulan pertama sejak kami tahu saya hamil, Abah Kembang rutin sekali sebulan mengantar untuk konsultasi kondisi kehamilan saya di sebuah Puskesmas di kawasan Tebet. Memasuki bulan keenam, konsultasi menjadi dua kali sebulan hingga dua bulan terakhir menjadi rutin satu kali seminggu.
Setiap kali konsultasi dengan bidan, kami cukup membayar Rp.2.000 untuk pendaftaran karena saya belum punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Jika kami rasa butuh USG dengan dokter, kami membayar Rp.65.000 sekaligus konsultasi dengan dokter kandungan. Saat USG kedua kali, usia kandungan lima bulan, dokter memberitahu perkiraan kami akan mendapatkan anak perempuan. Saya girang. Suami juga. Kami memang tidak menentukan lebih menginginkan anak laki-laki atau perempuan untuk anak pertama kami. Pun anak kedua nanti. Bagi kami mengharapkan jenis kelamin tertentu, kemungkinan akan membuat sang anak kecil hati nantinya, jika ia pernah tau hal ini.
Selama kehamilan saya juga melakukan dua kali test darah. Pertama test darah lengkap untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kemungkinan adanya penyakit berbahaya seperti HIV Aids. Saya dan suami tersenyum saat mengetahui hasil tes baik. Kami bebas dari penyakit, kondisi ibu dan janin, normal. Sebelumnya di poster yang ada di jendela ruang pemeriksaan, saya baru tahu jika bayi dilahirkan dari ibu dengan HIV, Aids bisa dicegah diturunkan kepada bayi dengan perlakuan tertentu selama masa kehamilan. Kedua, tes darah cukup untuk mengatahui kadar hemoglobin ibu, untuk persiapan persalinan. Kali ini juga hasil tes saya baik.
Ada yang bertanya bagaimana saya menjalani kehamilan dengan pekerjaan saat itu masih menjadi reporter lapangan sebuah media online di Jakarta?
Trisemester pertama kehamilan, saya mengalami morning sick. Muntah dan mual di pagi hari. Biasanya muncul saat saya menggosok gigi saat mandi. Tidak tentu juga. Pernah juga saat saya di dalam angkutan kota. Saya terpaksa turun sebelum sampai di tujuan dan muntah di tepi jalan. Sekali waktu saat saya tengah mengendarai sepeda motor. Lebih gampang mencari tempat berhenti lalu muntah. Tapi setelah muntah, terasa lebih lega dan segar. Saya ingat, "kehamilan bukan penyakit", lalu saya kembali beraktivitas.
Trisemester kedua, morning sick mulai hilang. Nafsu makan mulai kembali normal. Bahkan bertambah kuat. Beberapa kali saya muntah dalam semester ini, justru karena saya makan atau minum terlalu banyak. Sekali konsultasi saya diingatkan oleh bidan untuk menjaga makan karena berat badan yang naik drastis. Idealnya berat badan naik satu kilogram selama sebulan. Saat itu, belum dua minggu dari terakhir kontrol, berat saya sudah naik 1,5 kg. Perintah bidan, saya harus turunkan berat badan 0,5 kilogram untuk dua minggu ke depan, sebelum konsultasi selanjutnya. Saya mulai mengurangi makan terlalu banyak karbohidrat dan menggantinya dengan hanya makan protein, buah dan sayur. Ini penting untuk menghindari saya merasa sesak di trisemester ketiga nanti.
Hingga sembilan bulan kandungan, saya masih membawa Kembang berkeliling Jakarta dengan sepeda motor untuk liputan. Di hari kerja, lebih sering saya diberi keringanan liputan di gedung MPR DPR kawasan Senayan. Lokasi ini juga tidak jauh dari kosan kami. Namun jika tugas akhir pekan saya harus siap liputan di mana saja. Lagi saya ingat, kehamilan bukan penyakit. Seyogyanya ia tidak menghalangi perempuan melakukan aktivitas biasa seperti saat sebelum kehamilan. Beberapa informasi  mengatakan, ibu hamil dibolehkan melakukan kegiatan apapun seperti sebelum ia hamil. Misalnya jika si ibu biasa olahraga angkat besi sebelum hamil, maka saat hamilpun ia dibolehkan melakukan kegiatan yang sama. Bukan disarankan untuk mengurangi aktivitas hariannya.
Selama kehamilan, sebagai tambahan asupan, saya hanya mengkonsumsi vitamin penambah darah dan penguat tulang yang didapat di apotek puskesmas secara cuma-cuma. Saya sempat membeli susu ibu hamil, namun berhenti konsumsi, karena justru membuat morning sick bertambah parah.
Kelahiran
Kembang Forsythia lahir pada 23 September 2014 pukul 07.15 pagi. Sehari sebelumnya saya mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD). Hari itu tepat saat Abahnya Kembang ujian tesis. Sore setelahnya kami langsung ke klinik di Puskesmas tempat saya biasa konsultasi kandungan. Puskesmas ini punya klinik bersalin 24 jam. Saat tiba di klinik, sekitar pukul 18.30 posisi bukaan satu. Tapi bidan tak bisa meraba rambut bayi jika memang ketuban telah merembes. Saya juga tak tahu pasti berapa banyak ketuban yang merembes. Tiba-tiba celana dalam basah namun cairan tidak berwarna dan tidak berbau. Bidan minta kami menunggu hingga pukul 21.00 WIB. Jika tak ada kemajuan kami akan diminta pulang. Kami lalu mencari makan malam. Nasi goreng habis, saya kembali dicek bukaan. Belum ada kemajuan. Namun bidan urung meminta saya pulang. Khawatir ketuban habis duluan. Saya disarankan untuk induksi. Induksi dengan memasukkan cairan perangsang melalui infus. Dokter perkirakan akan memakan waktu 8-9 jam induksi. Garansi saya bisa melahirkan normal dengan bantuan induksi ini, kamipun setuju. Abah tandatangan berkas persetujuan.
Cairan mulai dimasukkan, infus dipasang. Jika ada yang bertanya rasanya induksi saya tak bisa menggambarkan persisnya. Saya selalu menjawab setingkat lebih sakit dari pada nyeri haid. Pinggang dan punggung serasa mau copot. Perut mulas tak nyaman. Nyeri datang setiap lima menit lalu hilang. Tiba-tiba datang lagi. Begitu terus hingga pagi. Awal-awal saya bolak balik meminta ditemani suami. Peraturan klinik, suami tak boleh temani kecuali saat melahirkan. Jelang subuh saya hampir menyerah. Saya minta suami masuk. Saya minta maaf. Saya ikhlaskan jika tubuh tidak kuat. Saya minta suami sampaikan maaf pada mama dan mertua. Abah tampak tegang. Ia hanya memeluk saya yang mulai menangis dan berkata semua akan baik-baik saja.
Jelang subuh ada kemajuan. Darah mulai merembes. Mulai ada rasa ingin buang air besar. Perawat melarang saya berteriak. Simpan tenaga untuk mengejan. Tapi saya tak tahan. Sebelumnya Abah masuk pamit akan sholat subuh dan mandi di rumah tante dekat klinik. Saya mengijinkan. Mengingat Abah sudah menunggui semalaman. Bolak balik klinik-mushala. Bidan pun perkirakan akan lahir sekitar pukul 08.00.
Abah kecolongan. Sekitar 06.30 bidan shift pagi masuk. Tanpa cek bukaan lagi, ia perintahkan siapkan peralatan. Saya telpon, Abah Kembang terjebak macet menuju klinik. Tiga kali mengedan keluar kepala, lengan lalu seluruh tubuh. Suara tangis pecah. Saya lupa sakitnya melahirkan. Karena induksi jauh lebih sakit. Kembang masih menangis kencang sekali saat Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Saya menangis. Bahagia sekali. Lebih bahagia daripada jatuh cinta.
Menurut bidan dan perawat klinik, tangis Kembang jauh lebih keras dibanding bayi lain. Ia berteriak saat menangis. Di dalam ruang rawat ada lima bayi lain yang lahir dengan waktu hampir bersamaan dengan Kembang. Tak ada yang tangisnya seperti Kembang.
Setelah saya dan Kembang dibersihkan kami pindah ke ruang rawat. Di sini ia bertemu abahnya untuk pertama kali. Tiga jam setelah melahirkan saya sudah bisa duduk dan mandi sendiri. Abah menggendong Kembang.
Kembang kurang beruntung karena lahir dari ibu dengan payudara puting rata (flat nipple). Hingga dua hari Air Susu IBU (ASI) belum keluar. Meski bayi masih akan bertahan hingga 72 jam setelah lahir tanpa ASI, saya khawatir ia akan rewel. Benar saja. Kembang tak bisa diam jika tidak tidur karena kelelahan menangis.
 Saat kontrol pertama, berat badannya turun 2 ons dari 2,9 kilogram. Nyaris kuning. Saya masih berusaha memompa ASI setetes demi setetes. Perawat klinik mengajarkan pijat payudara untuk relaktasi. Setetes ASI disuapkan pada Kembang dengan sendok. Sedih sekali rasanya jika melihat ibu lain langsung bisa menyusui bayinya.
Hingga pulangpun ASI masih belum lancar. Kembang belum bisa menyusu. Setiap dua jam saya pompa ASI hanya untuk membasahi pantat cangkir. Kembang menenggak dalam hitungan detik. Beruntung Abah Kembang sabar menggendong, mengajak Kembang bermain keluar sementara saya memompa ASI. Seminggu pertama saya peras ASI manual dengan tangan. Kebas dan pegal. Kadang saya menangis. Tapi melihat Abah yang tenang dan sabar saya yakin ini tak akan lama. Hampir satu bulan Kembang minum ASI perahan. Berbagai cara mengeluarkan puting saya coba. Saya coba pakai pompa manual. Suntikan yang dimodifikasi ujung dan dibuang jarumnya. Seorang bidan teman saya tidak menganjurkan menggunakan puting sambungan. Resiko bayi bingung puting akan berpeluang menurunkan produksi ASI. Kami sempat konsultasi dengan dokter di klinik. Ia mempertemukan saya dengan seorang bidan senior yang mengajarkan saya menyusui dengan benar. Menyusui bukan dengan puting. Namun dengan areola, bagian hitam ditengah payudara. Posisi menyusui benar jika telinga bayi segaris dengan bahu dan tangannya, apapun posisi menyusuinya, duduk, berdiri atau tiduran. Benar saja. Saya terus melatih Kembang menyusu meski tanpa puting. Dua bulan ia belajar akhirnya Kembang bisa menyusu. Meski dengan satu payudara. Saya bahagia bukan kepalang.
 
 ASI Eksklusif
Saya butuh waktu lebih lama untuk belajar merawat bayi. Saya tak punya pengalaman sama sekali. Abah lebih beruntung. Ia punya pengalaman melihat keponakannya tumbuh. Hampir tiga bulan pertama pengasuhan Kembang lebih banyak dilakukan Abah. Mandi, memotong kuku, tidur. Bahkan jika Kembang menangis tengah malam karena basah, sering Abah yang bangun dan mengganti popoknya. Saya bangun untuk menyusui. Kembang usia tiga bulan saya baru berani memandikannya. Berani memotong kukunya. Saya mulai tenang. Meski Kembang masih suka nangis hingga mengamuk karena kolik. Hampir lima bulan Kembang sering menangis kencang sekali. Kadang saya bingung dan menangis. Abah meminta saya sholat jika sudah begitu. Saya kembali tenang. Kembang pun tenang dipelukan Abahnya. Saya merasa Kembang lebih dekat dengan Abahnya ketimbang saya.
Kembang mungkin tak seratus persen ASI Eksklusif karena pernah suatu ketika ia diberi minum air putih oleh saudara di kampung, saat mudik. Kami langsung wanti-wanti bahaya air putih bagi bayi dibawah enam bulan. Mulai diare hingga gangguan pencernaan. Banyak yang menyarankan kami untuk memberi susu tambahan atau makanan setiap kali Kembang menangis. Dengan telaten saya beri pengertian bahwa menangis bukan berarti lapar. Susu tambahan dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) dini beresiko besar bagi bayi. Secara sederhana, usus bayi yang belum tumbuh sempurna belum siap menerima apapun selain ASI. Jika dipaksakan akan membuat usus bayi bekerja lebih keras dan kemungkinan gangguan pencernaan lebih besar saat ia tumbuh nanti. Mungkin akan membuat bayi lebih tenang atau anteng karena pencernaannya sedang bekerja keras mencerna.
Saya lebih mengusahakan merilekskan pikiran agar produksi ASI lancar. ASI yang melimpah tidak keluar dari ibu yang stres. Ketika ibu bahagia menyusui, otak mengeluarkan hormon oksitosin dan memerintahkan otak untuk memproses lebih banyak ASI sesuai kebutuhan bayi. ASI akan diproduksi sebanyak ASI yang dikeluarkan melalui hisapan bayi. Tepat dugaan saya. Saat saya rileks dan merasa bahagia, ASI melimpah. Selamat tinggal tangan kebas dan pegal.
MP ASI
Kembang tak suka makanan yang tidak segar. Ia akan melahap apa saja selama disajikan saat hangat atau dalam keadaan fresh. Dua minggu pertama di usianya yang melewati enam bulan, Kembang mengikuti pola pemberian Makanan Pendamping ASI food combining. Memulai dengan buah dan sayur. Pisang, alpukat, wortel, brokoli. Hanya untuk pengenalan. Selanjutnya Kembang mengikuti anjuran World Health Organization (WHO) dengan mengenalkan semua jenis makanan, termasuk protein. Dibuka dengan menu-menu tunggal. Menurut WHO tak ada alasan untuk menunda memberi protein pada bayi, kecuali jika bayi berpotensi alergi. Kami tak punya riwayat alergi apapun. Jadi sejak tujuh bulan Kembang sudah mencoba semua jenis makanan.Yang perlu diperhatikan hanya tekstur dan jumlah pemberian MP ASI yang meningkat secara perlahan. Dari lunak hingga padat. Satu sendok makan bertambah menjadi hingga tiga sdm sekali waktu makan.
Kembang ikut mengkampanyekan GTM alias Gerakan Tutup Mulut saat ia tumbuh gigi di usia tujuh bulan. Sama sekali tak menyentuh makanan yang saya bikin sendiri. Di sini saya mencoba pola Baby Lead Weaning (BLW). BLW memberi keleluasaan pada bayi untuk menyuap sendiri makanannya. Semua bahan cukup dikukus hingga lunak lalu di berikan dalam ukuran jari orang dewasa. Untuk karbohidrat sementara diganti kentang atau ubi. Menurut pola yang memanfaatkan masa oral bayi ini, bayi akan secara natural memasukkan makanan ke dalam mulut dan berhenti ketika merasa kenyang. Hampir seminggu Kembang BLWan. Paling nyaman makan apel dingin karena dapat mengurangi nyeri gigi. Setelah nafsu makannya kembali dan gigi sudah mulai muncul saya kembali suapi. Bagaimanapun saya khawatir BLW tidak mencukupi nutrisi yang tubuhnya perlukan.
Hingga 9 bulan, Kembang masih setia konsumsi nasi tim buatan saya. Tidak pakai gula dan garam karena akan memperberat kerja ginjalnya yang masih belum tumbuh sempurna. Ia mengenal rasa asli bahan makanan. Saya juga menghindari tepung-tepungan. Menu makanannya menyesuaikan bahan yang dijual tukang sayur yang lewat setiap pagi di depan rumah kami. Tak perlu repot sengaja belanja untuknya.
Memasuki sepuluh bulan saya mulai kenalkan nasi biasa, hanya dimasak dengan lebih banyak air. Lauknya masih tanpa gula dan garam hingga ia pas satu tahun. Kami orangtuanya yang menyesuaikan diri dengan Kembang. Ia masih lahap makan hingga kini, kecuali jika sakit.
Sakit
Hampir satu tahun, saya bisa ingat berapa kali Kembang tidak dalam kondisi normal. Tiga kali demam, satu kali diare dan beberapa kali pilek, batuk dan ingusan. Demam pertama kali saat ia belum genap satu bulan. Kami baru pindah dari kosan ke kontrakan. Rumah lebih lega. Namun yang perlu dikerjakan juga lebih banyak. Saya kecapekan, kurang tidur hingga demam. Kembang ketularan. Saya susui terus tanpa obat dan ke dokter. Abahnya membantu dengan skin to skin treatment. Abah tidur sambil memeluk Kembang. Keduanya tidak menggunakan baju. Secara alami panas tubuh Kembang berpindah ke tubuh Abah. Jemur di matahari pagi selama 15 menit sebelum pukul 08.00 juga sangat membantu. Ini perlakuan kami terhadap Kembang setiap kali ia demam. Demam kedua hanya sehari, sesaat setelah imunisasi DPT. Ketiga saat ia tumbuh gigi. Perlakuannya sama. Tanpa dokter dan obat. Hanya ASI. Karena demam juga bukan penyakit. Ia proses alami tubuh melawan virus dalam tubuh bayi. Setiap bayi demam, yang harus diwaspadai penyebabnya. Selagi penyebabnya wajar, seperti imunisasi atau tumbuh gigi, cukup bantu bayi agar lebih nyaman saat demam. Kami pikir memaparnya dengan obat atau antibiotik dari dini sebaiknya dihindari.
Saat delapan bulan, Kembang diare. Mencret dan muntah. Saya langsung mewaspadai dehidrasinya. Memberi ASI lebih sering, ditambah asupan pendamping dengan makanan berkuah. Kuah sayur dan kuah sup. Tiga hari BAB sering dan muntah bahkan hingga tengah malam. Perlahan mulai berkurang. Hari keempat berhenti, namun Kembang masih lemas. Gampang tertidur. Diare juga proses alami tubuh mengeluarkan bakteri tidak baik dalam usus bayi. Kembang memang sedang dalam masa oral. Ia mengeksplor semua yang ia temukan dengan memasukkannya ke dalam mulut. Tak heran mungkin ada bakteri yang ikut masuk. Sebaiknya tidak dilakukan usaha penghentian karena hanya akan membuat bakteri terperangkap lebih lama dalam tubuh. Waspadai tingkatan dehidrasi. Dehidrasi ringan bisa diantisipasi dengan cairan rumah tangga seperti kuah sup dan sayur. Dehidrasi sedang membutuhkan oralit plus lacto b untuk mengganti cairan yang keluar. Sementara dehidrasi berat, pada bayi ubun-ubun mulai cekung, harus diberi cairan melalui infus. Tanpa dokter dan obat, Kembang pulih di hari kelima. Toleransi untuk bayi diare hingga 14 hari. Jika tak disertai darah, belum perlu diberi obat. 
Setiap kali pilek dan batuk, saya buat terapi uap mandiri dengan menaruh air panas di dalam baskom, lalu ditetesi minyak kayu putih. Uapnya cukup membantu melegakan hidung tersumbat. Sementara pemicu batuk juga harus dihindari seperti debu atau udara dingin. 
ASI dan imunisasi yang kami berikan sebagai modal untuk Kembang, kemungkinan besar sangat membantu ia menghadapi kondisi-kondisi tidak normal seperti ini.
Sejauh ini Kembang punya ketahanan tubuh yang baik. Sekali dua kali kami terpaksa membawanya keluar malam dengan sepeda motor. Sekali dalam kondisi hujan. Ia baik-baik saja. Kami bersyukur ia tak gampang sakit.
Kontroversi-Kontroversi
Seperti orangtua lainnya, kami juga menghadapi kontroversi seputar perlakuan pada anak saat masa tumbuh kembangnya. Yang paling panas soal tindik dan sunat. Yang agak adem soal pemakaian gurita, bedong, bedak bayi, dot, empeng dan nama ayah.
Kami memilih tidak menindik Kembang. Selain tidak tega, kami pikir menindik tidak mempengaruhi tumbuh kembangnya selain untuk menandai bahwa ia bayi perempuan. Kami pikir ia sudah cukup cantik dan biarlah ia memutuskan sendiri nanti untuk hal yang menyakiti dirinya. Selain itu secara pribadi saya juga punya trauma sendiri dengan tindik telinga. Saat sekolah saya selalu kehilangan sebelah anting. Karena daun telinga cepat buntu, saya alami dua atau tiga kali tindik ulang. Yang terakhir berakhir dengan nanah dan korengan. Sejak itu mama saya menyerah.  Hingga kini saya tak pernah pakai anting.
Sunat bayi perempuanpun sudah tidak direkomendasikan tenaga medis. Kalaupun masih ada satu dua yang mau melakukan, hanya sebagai syarat, begitu katanya. Kami juga tak lihat pengaruh bagi pertumbuhan anak.
Selain itu, alasan yang sudah umum, bahwa pemakaian gurita beresiko mengganggu respirasi bayi, bedak bayi beresiko bayi terkena kanker ovarium dan radang paru-paru. Menghindari empeng dan dot untuk membantu giginya tumbuh dengan baik. Sementara bedong, selain Kembang memang tak betah dibedong, pendapat bahwa bedong untuk meluruskan kaki bayi ternyata hanya mitos. Bedong dikenakan lebih dengan tujuan membuat bayi lebih hangat. Namun kami pikir bayi juga harus segera beradaptasi dengan lingkungan luar. Kita tak bisa terus memanjakannya dengan mengkondisikan dirinya selalu hangat seperti dalam kandungan. Karena itu kami juga segera melepas kaus kaki dan kaus tangannya.
Oya, Kembang juga menghadapi mitos-mitos seputar bayi lahir. Ada tetangga yang sarankan saya untuk bawa gunting kuku kecil kemana-mana. Atau menyematkan peniti dan bawang putih dibajunya. Ada juga yang memberi kami sebungkus garam untuk ditabur di halaman rumah menghindari gangguan makhluk halus. Kami mendengarkan dengan senyum semua mitos ini. Tak satupun yang kami ikuti, lebih karena alasan keamanan dari benda tajam seperti gunting dan peniti. Sementara garamnya? Kami gunakan untuk memasak!
Kembang Forsythia juga tidak membawa nama ayah di belakang namanya. Kami juga tidak menambah nama berbahasa Arab seperti yang disarankan mbahnya. Bagi Abahnya sederhana saja. Agar ia tak terbebani kelak jika dewasa. Forsythia adalah nama bunga penanda musim semi. Nama yang didapat Abah dalam buku Email dari Amerika yang ditulis kenalan kami ibu Janet Steele. Kalaupun ada harapan yang kami sematkan dari namanya, kami hanya ingin ia ceria seperti kuning cerahnya Forsythia. Kedatangannya selalu ditunggu karena membawa kebahagiaan. Itu saja cukup.
 Ulang Tahun Pertama
Kembang lahir dari kehamilan yang tidak direncanakan. Awalnya kami bermaksud menunda memiliki anak hingga satu atau dua tahun perkawinan. Namun kami tidak berusaha untuk itu. Bulan September tanggal 23 tahun 2015 ini Kembang akan ulangtahun untuk pertama kali dan kami sama sekali tidak pernah menyesali kehamilan diluar rencana ini. Ia melengkapi kebahagiaan kami rupanya.  Jika jaman dulu orang percaya banyak anak banyak rezeki, kami mungkin akan merevisi dengan setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Kembang lahir dengan membawa rejekinya sendiri.
Sebelum ia lahir kami tinggal di kosan dengan satu ruangan lepas. Sulit mencari kontrakan yang sesuai dengan keinginan kami di Jakarta. Kalaupun ada harganya tidak sesuai dengan kemampuan kami. Namun seminggu setelah Kembang lahir kami dapat kontrakan yang baik dan posisi strategis. Setahun setelahnya kami ditawari rumah sederhana dengan harga bersahabat dengan tabungan. Mas Andreas, yang meminta saya menulis ini, dan Mbak Ari istrinya juga membolehkan kami membeli mobilnya yang lama dengan cicilan ringan tanpa bunga. Ia membeli mobil baru. Apalagi semua itu kalau bukan rezekinya Kembang yang disampaikan Tuhan melalui orangtuanya?
Kami berterima kasih pada Kembang. Ia tumbuh menjadi bayi yang sangat ceria kini. Mudah dekat dengan orang lain. Tidak takut. Tidak rewel kecuali kondisi tertentu seperti lapar, ngantuk atau gerah. Sebelas bulan lebih, ia sudah mulai melangkah. Ia senang digendong belakang oleh Abah dan saya. Ia suka iklan 3 #ubahdenganbicara dan iklan IKEA "Make a wish right now". Ia membantu saya menjadi lebih sabar dan telaten. Ia membantu Abah menjadi lebih banyak mengalah. Ia ingin terlibat dalam setiap yang kami lakukan. Kalapun ada yang ia tak suka, ia ngeyel jika dilarang merangkak keluar rumah. Ia tak suka dilarang main kabel. Ia suka main mpotan dengan Abah. Mengganggu Abah main game di tablet. Memegang hidung saya saat menyusu. Dan mengoceh sepanjang waktu dan sedang suka memanjat apa saja.
Kelak kami akan membiarkan ia memilih akan menjadi pribadi yang seperti apa. Tugas kami sebisa mungkin menjadi teladan yang benar dan menghormati dia dengan melibatkan diri dan pendapatnya dalam rumah tangga kami. Kami tidak ingin pernah memarahinya.   Tumbuhlah menjadi anak yang bahagia, Nak. Abah dan Emak akan selalu cinta padamu. Selamat Ulang Tahun.


Sabtu, 19 September 2015